Hikmah dalam Berdakwah (Bag. 8): Contoh Praktik Dakwah dengan Hikmah
Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du.
Di antara contoh praktik dakwah dengan hikmah dan bijaksana adalah apa yang disebutkan oleh Ustaz Abdullah Zaen, Lc. MA. hafizhahullah dalam bukunya “14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah” pada halaman 117-144.
Namun, mengingat panjangnya penjelasan yang beliau tuliskan, maka di bawah ini kami ringkaskan untuk para pembaca dengan beberapa penyesuaian agar lebih mudah untuk diambil faedahnya bagi kaum muslimin secara umum.
Berdakwah dengan mengamalkan hal-hal yang biasa dikerjakan di masyarakat selama hal-hal itu masih diperbolehkan oleh agama. Hal ini dengan tujuan untuk menarik hati masyarakat dan menjadikan mereka tidak fobia dengan dakwah kita, meskipun terkadang hal-hal tersebut tidak sesuai dengan yang lebih afdal. Bahkan, terkadang disyariatkan untuk meninggalkan beberapa amalan yang hukumnya sunah, untuk menghindari fitnah (gejolak masyarakat atau keributan).
Dalil bolehnya meninggalkan amalan yang lebih afdal atau amalan yang hukumnya sunah untuk menghindari fitnah atau untuk menarik hati masyarakat adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
لَوْلا حَداثَةُ عَهْدِ قَوْمِكِ بالكُفْرِ لَنَقَضْتُ الكَعْبَةَ، ولَجَعَلْتُها علَى أساسِ إبْراهِيمَ
“Kalau bukan karena kaummu (wahai Aisyah) yang baru saja meninggalkan kekufuran, niscaya akan aku hancurkan ka’bah. Lalu, aku akan bangun kembali di atas pondasi Nabi Ibrahim.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan amalan yang hukumnya sunah untuk menghindari timbulnya fitnah. Oleh karena itu, Imam Bukhari rahimahullah mengambil suatu kesimpulan yang amat indah dari kisah di atas. Beliau menulis, “Bab: (Disyariatkannya bagi) Seseorang untuk Meninggalkan Beberapa Perkara Sunah, karena Khawatir Pemahaman sebagian Orang Tidak Sampai kepadanya, sehingga Mereka Terjerumus ke dalam Perbuatan Yang Lebih Parah.”
Beberapa contoh praktik dakwah yang hendaknya kita terapkan guna menghindari fitnah dan menarik hati masyarakat:
Berkaitan dengan masalah pakaian, seyogyanya kita tidak berusaha untuk tampil beda dari pakaian yang umum dipakai di masyarakatnya selama pakaian tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Seandainya masyarakat kampungnya terbiasa untuk memakai sarung, kemeja, baju koko, dan songkok hitam, maka hendaknya kita tidak berusaha untuk tampil beda dengan memakai jubah, gamis (baju pakistan), imamah (sorban yang dililit di kepala), atau syimagh (kerudung yang biasa dipakai oleh laki-laki Arab). Karena menurut para ulama bahwa yang disunahkan dalam masalah pakaian itu hendaknya seseorang menyesuaikan pakaiannya dengan pakaian penduduk negerinya, selama pakaian mereka tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Imam Ibnu ‘Aqil rahimahullah berkata, “Tidak seyogyanya menyelisihi kebiasaan masyarakat, kecuali dalam hal yang haram.”
Diperbolehkan bagi kaum pria untuk memakai celana atau sarung pas di atas mata kaki dan tidak harus diangkat sampai pertengahan betis kaki.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
إزرَةُ المؤمنِ إلى عَضَلةِ ساقَيْه، ثم إلى نِصْفِ ساقَيْه، ثم إلى كَعبَيْه، فما كان أَسفَلَ مِن ذلك في النَّارِ
“Pakaian (bawah) seorang mukmin hingga di atas pertengahan betisnya, kemudian hingga pertengahan betisnya, kemudian hingga kedua mata kakinya. Jika melebihi mata kaki, maka itu akan (dimasukkan) ke neraka.” (HR. An-Nasa’i dan Ahmad. Sahih)
Bagi kaum wanita terkadang boleh memakai pakaian selain warna hitam dengan tetap memperhatikan norma-norma cara berpakaian kaum wanita yang lain, karena sahabiyyat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun terkadang berpakaian selain warna hitam.
Berikut ini beberapa hadis menunjukkan hal itu:
Pertama: Istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terkadang memakai pakaian merah. (Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf, VII: 371 no. 4791 dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani)
Kedua: Ummu Khalid bintu Khalid radhiyallahu ‘anha pernah dipakaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam baju bergaris-garis hijau dan kuning. (Diriwayatkan oleh Bukhari)
Ketiga: Istri Abdurrahman bin Zubair Al-Qurazhi radhiyallahu ‘anhuma pernah memakai jilbab hijau. (Diriwayatkan oleh Bukhari)
Oleh karena itu di dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (XVII: 108) disebutkan,
“Pakaian wanita muslimah tidak khusus berwarna hitam, dan boleh baginya untuk memakai pakaian berwarna lain, jika menutup auratnya, tidak menyerupai pakaian laki-laki, tidak ketat membentuk lekuk-lekuk tubuhnya, tidak transparan hingga memperlihatkan apa yang ada di balik pakaian, serta tidak menimbulkan fitnah.”
Baca juga: Hukum Memakai Pakaian Berwarna Merah
Bagi ikhwah yang menjadi imam di suatu masjid yang memiliki mihrab, diperbolehkan baginya untuk salat di mihrab itu, apalagi jika jemaah masjid belum siap untuk menerima bahwa mihrab hukumnya adalah bid’ah.
Perlu diketahui bahwa membuat mihrab merupakan suatu perkara yang diperselisihkan hukumnya oleh para ulama sejak dahulu hingga sekarang. Sebagian mengatakan boleh, sebagian mengatakan bid’ah.
Syekh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah menjelaskan permasalahan di atas, “Masalah ini (masalah mihrab) merupakan permasalahan fikih. Kalaupun mihrab dianggap sebagai suatu bid’ah, perbuatan meninggalkan salat di dalamnya tidak melenyapkan bid’ah tersebut. Yang termasuk ke dalam kategori bid’ah adalah membangun mihrab tersebut, bukan salat di dalamnya.”
Bagi ikhwah yang menjadi imam di suatu masjid yang biasa bacaan basmalah dalam surah al-Fatihah di-jahr-kan (dikeraskan), maka terkadang ia boleh untuk men-jahr-kannya dengan tujuan antara lain guna mengambil hati jemaah masjid.
Karena hadis yang menjelaskan dikeraskannya bacaan basmalah Fatihah pun sahih, meskipun (derajat) kekuatannya di bawah (derajat) kekuatan hadis yang menerangkan di-sirr-kannya (dilirihkannya) bacaan basmalah.
Bagi ikhwah yang menjadi imam salat tarawih di masjid yang telah membudaya di dalamnya untuk salat empat-empat-tiga, dan diperkirakan belum siap untuk diganti menjadi dua-dua-dua-dua-dua-satu, maka disyariatkan dia salat empat-empat-tiga, sambil berusaha mengenalkan ke jemaah akan disunahkannya salat dua-dua-dua-dua-dua-satu, meskipun dia belum mempraktikkannya. Karena yang empat-empat-tiga pun pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, meskipun yang dua rakaat-dua rakaat itu lebih afdal.
Dari Abu Salamah bin Abdurrahman, dia bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimanakah salat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di bulan Ramadan?” Aisyah menjawab, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pemah salat lebih dari sebelas rakaat baik di bulan Ramadan maupun selain Ramadan. Beliau salat empat rakaat dan jangan ditanya bagus dan panjangnya. Kemudian salat empat rakaat dan jangan ditanya bagus dan panjangnya. Kemudian salat tiga rakaat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Dan hadis ini menjelaskan bolehnya (salat empat empat tiga), meskipun yang lebih afdal adalah salam setiap selesai dua rakaat. Dan inilah yang dikenal dari praktik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan perintah beliau untuk melakukan salat malam dua rakaat dua rakaat.”
Bagi ikhwah yang menjadi makmum di masjid yang imamnya memakai qunut ketika subuh, maka ia boleh mengangkat tangan ketika qunut dan mengamininya.
Syekh Al-‘Allamah Ibn ‘Utsaimin rahimahullah menasihatkan, “Lihatlah para imam (kaum muslimin) yang mereka benar-benar memahami nilai-nilai persatuan. Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa qunut salat Subuh adalah bid’ah. Meskipun demikian, beliau berkata, ‘Jika engkau salat di belakang imam yang qunut, maka ikutilah qunutnya, dan aminilah doa imam tersebut.’ Ini semua demi persatuan barisan dan hati, serta agar tidak timbul kebencian antara sebagian kita terhadap sebagian yang lain.”
Ini jika posisi kita sebagai makmum.
Namun, jika posisi kita sebagai imam (dan kita meyakini bahwa hadis tersebut dha’if), maka kita tidak boleh berqunut. Karena jika kita meyakini bahwa hadisnya dha’if, berarti kita telah meyakini bahwa qunut Subuh tidak disyariatkan.
Syekh Al-‘Allamah Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafizhahullah setelah merajihkan bahwa hadis tersebut dha’if, beliau menjelaskan sikap makmum dalam permasalahan-permasalahan seperti ini, “Seseorang mengikuti imam dalam masalah-masalah khilafiyyah (yang masih diperselisihkan oleh para ulama) … Dia harus mengikuti imam, dan tidak boleh memisahkan diri atau meninggalkan salat di belakang orang yang berqunut. Jika seseorang memandang bahwa amalan itu tidak cocok (dengan sunah) atau dia berpendapat bahwa perkara itu bid’ah, sedangkan yang lain berpendapat bahwa itu adalah sunah, dalam kondisi seperti itu dia tidak boleh meninggalkan salat di belakang orang yang berbeda pendapat dengannya di saat dia mengamalkan apa yang ia yakini.” Wallahu Ta’ala a’lam. [Selesai]
الحمد لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ
Kembali ke bagian 7: Contoh Praktik Dakwah dengan Hikmah
***
Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah
Artikel asli: https://muslim.or.id/89092-contoh-praktek-dakwah-dengan-hikmah-3.html